Tepatnya di depan punden Watu Gilang, dua hari sebelumnya masyarakat setempat sudah memulainya dengan acara pengumpulan beras oleh seluruh kepala keluarga di Dusun Pancot.
Beras ini nantinya akan dimasak menjadi sesaji yang bernama gandhik. Perlu diketahui, ada beberapa larangan bagi orang yang memasak sesaji. Larangan tersebut diantaranya tidak bolah sedang menstruasi dan tidak boleh dirasakan. Menurut kepercayaan dari orang-orang di dusun Pancot, jika larangan tersebut dilarang maka prosesi sesajian akan menimbulkan suatu mara bahaya.
Makna dari larangan tersebut tidak terlepas dari pengaruh agama Hindu. Mengapa agama Hindu, karena pada jaman inilah sedang berkembang agama Hindu, yaitu sekitar abad 16. Hal ini juga tidak terlepas pada lokasi sesaji, yaitu di dataran tinggi.
Menurut keyakinan agama Hindu, tempat yang paling cocok untuk berdoa atau melakukan sesajian adalah di tempat yang paling tinggi.
Prosesi Sesaji
Acara sesaji kemudian dilanjutkan pada hari H nya, yaitu prosesi sesaji. Untuk prosesi sesaji, seperti prosesi sesaji Jawa pada umumnya. Untuk sesajiannya juga seperti sesajian Jawa pada umumnya, seperti tumpeng, ingkung dan jajan pasar.
Pada prosesi ini didahului dengan dibersihkannya Watu Gilang dengan air badhek. Air ini terbuat dari ragi tape. Kemudian setelah disiramkan ke Watu Gilang akan disiramkan ke seluruh peserta upacara.
Menurut keyakinan dari masyarakat sekitar, barangsiapa yang mendapatkan air badhek tersebut maka permohonan akan terkabul. Puncak acara nya adalah dilemparkannya ayam. Menurut keyakinan masyarakat setempat, barangsiapa yang mendapatkan ayam maka permohonannya akan terkabul.
Trusmi menjelaskan, “Dilihat dari asal muasal dari prosesinya dapat dikatakan bahwa Mandasiya dapat dikatakan bahwa prosesi ini adalah mitos dan keyakinan. Dimana jika dilihat dari cerita wayang kulit maka akan tidak ditemukan,” jelasnya.
Dalam wayang kulit tidak ada cerita Patut Tetuko yang masa mudanya dikenal dengan Gathutkaca ketemu dengan Prabu Baka. Selain itu masih tanda tanya apakah Prabu Baka yang di wilayah Lereng Gunung Lawu sama dengan Prabu Baka sebagai raja di Prambanan.
Oleh sebab itu, dari Dinas Pariwisata Karanganyar menjadikan acara ini sebagai salah satu even pariwisata. Hal ini dikatakan oleh Joko Suyanto sebagai Kepala Dinas Pariwisata Karanganyar, “Berbagai macam upacara adat tradisional di wilayah Karanganyar akan dimasukkan dalam kalendar even dari pariwisata Karanganyar. Keberadaan dari kalendar even dari pariwisata Karanganyar adalah memanage segala macam upacara tradisional. Karena adat budaya ini adalah kekayaan yang harus selalu untuk diuri-uri. (Cisilia Perwita Setyorini)
Diambil dari Joglosemar.com
08 June 2008
Tradisi Watu Gilang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Write komentar