03 March 2017

NGILI

Ngili artinya mengungsi, meninggalkan tempat tinggal untuk menghindari bencana alam, perang, wabah penyakit, dan sebagainya. Di televisi sering kita jumpai berita tentang pengungsi dari daerah konflik, seperti Rohingya, Suriah, dan Irak. Seperti itulah ngili.

Ngomong-ngomong tentang pengungsi, warga Pancot dulu juga pernah jadi pengungsi. Benarkah?
Ya. Kejadiannya pada zaman agresi militer kedua penjajah Belanda. Berarti sekitar tahun 1948 sampai 1950-an.

Ilustrasi pasukan Belanda pada saat Agresi Militer kedua 

Waktu itu, pasukan Belanda bermarkas di sekitar Balekambang, Sekar Jinggo, sampai Ombang-ombang. Karena takut dengan pasukan Belanda itulah sebagian besar warga Pancot mengungsi. Daerah yang dituju adalah Dusun Tambak, Tlogo dan Ngemplak, Tidak semua warga pancot mengungsi. Sebagian kecil ada yang masih bertahan di Pancot meskipun juga takut diserang atau diambil oleh pasukan Belanda.

Warga Pancot mengungsi sambil membawa perabotan, termasuk hewan peliharaan seperti kambing, kuda, dan lain-lain. Bahkan, warga yang punya gamelan dan sekotak wayang kulit juga ikut dibawa mengungsi.

Di tempat pengungsian, orang-orang Pancot nunut di rumah warga. Ada yang disuruh bikin rumah sementara di kebun-kebun. Ada yang menikah dengan orang sana. Bahkan ada yang memilih menentap di sana ketika masa pengungsian berakhir.

Lama pengungsian sekitar selapan dina (35 hari). Mereka kembali pulang ke Pancot karena mendapat informasi bahwa Dusun Tambak akan diserang oleh Pasukan Belanda. Karena informasi itulah, pada tengah malam para pengungsi berduyun-duyun kembali ke Pancot. Diterangi cahaya bulan, warga menuntun hewan peliharaan dan memanggul perabotan untuk pulang ke kampung halaman.


#


Tentang  sekelumit cerita pengungsian itu, saya membayangkan beberapa hal lain, seperti
- Gimana ceritanya seandainya pengungsi Pancot nggak balik lagi ke Pancot?
- Gimana seandainya Pancot yang kosong itu ditempati keluarga penjajah?
- Gimana seandainya kampung itu dibakar?
- Gimana seandainya Pancot dibangun jadi penjara tawanan perang?
- dan seterusnya.

Tentu cerita hari ini akan lain sama sekali.

Tapi alhamdulillah. Semua akhirnya baik-baik saja. Kita masih punya kampung sampai sekarang. Masih bisa kumpul sedulur.

Secara kasat mata, kita bernasib jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara kita korban Lapindo.

Orang-orang Sidoarjo itu mengungsi dan tak pulang lagi.  Tiap kali melihat bekas kampungnya, yang ada hanyalah danau lumpur. Di bawah lumpur itulah tersimpan bermacam-macam cerita. Tentang cinta, ibadah, tangisan bocah, anak sekolah, pasar, lapangan, kuburan, semuanya.
Sejarah yang hilang.

Ah, semoga kampung kita akan terus ada. Sampai nanti ditiupnya Sangkakala.





(Terima kasih kepada Mbah Harti, Mbah Parjo, dan Mbah Joko yang berkenan berbagi cerita tentang ngili ini, dalam obrolan santai beberapa hari lalu. Salam)  

No comments:
Write komentar