25 June 2007

Beginilah Wajah "Religius" Indonesia yang Asli....

Dipaksa Musyrik, 16 Rumah Aktifis Masjid Dirusak

Kedamaian desa Pancot, Tawangmangu, Karanganyar berubah mencekam setelah 16 rumah aktifis masjid dirusak dan dianggap tak mau membayar iuran kampung. Mereka dipaksa syirik!

Hidayatullah.com--Selama waktu satu minggu ini suasana desa kecil di dukuh Pancot, Kelurahan Kalisoro Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa tengah tiba-tiba mencekam. Apalagi setelah 16 rumah aktifis masjid di kampung itu dirusak secara beringas oleh kelompok perusak. Selain dirusak, mereka juga diteror dan akan diusir keluar kampung.

Teror dan perusakan terjadi ketika para aktifis masjid setempat menolak memberikan iuran untuk kegiatan "bersih desa" dalam rangka menyambut tahun baru Suro. Peristiwa yang terjadi di dukuh Pancot itu kemudian mengakibatkan rentetan teror dan perusakan rumah.



Kejadian bermula ketika adanya perbedaan dalam menyikapi acara adat Suro yang kerap diselenggarakan tahunan di desa Pancot. Acara Suro yang lebih dikenal dengan "bersih deso" ini adalah kegiatan rutin yang sangat kental bau mistik. Bagi pihak penganut acara setempat, tradisi itu bertujuan menjauhkan bala' dari desa tersebut. Acara utama dari “bersih deso” ini adalah penyembelihan dua ekor ayam yang dipersembahkan untuk “penunggu deso” (penjaga desa) atau kerap disebut “sing mbahu rekso”.

Para aktifis masjid, yang umumnya adalah penganut Islam yang lebih modern berkeyakinan ini adalah satu bentuk kemusyrikan yang tidak harus diikuti dan terlarang menurut agama. Dari situlah kemudian terjadi sejumlah perusakan dan serangkaian teror.

Tidak kurang, 16 rumah warga yang juga aktifis masjid di dusun itu dirusak massa. Sebanyak 20 kepala keluarga (KK) mendapat ancaman dan satu KK diantaranya sempat eksodus ke luar kampung.

Menurut tokoh Karanganyar, Dr. Ir Sholahudin MS, kasus kerusuhan bermotif perbedaan adat dan agama seperti itu di Karanganyar sudah sering terjadi. Namun, menurutnya, selama ini penyelesaiannya tidak pernah tuntas.

“Kejadian seperti ini bukan hal baru. Itu selalu berulang-ulang, apalagi aparat setempat tidak bisa memberi solusi yang konkrit, “ ujar kepada Hidayatullah.com. “Masalahnya, mau nggak aparat bertindak, “ kata Pembantu Rektor II Univeritas Negeri Surakarta (UNS) ini. Lebih jauh, menurut Sholahudin seharusnya masyarakat menghormati perbedaan masing-masing tanpa memaksakannya dengan kekerasan. “Islam ya Islam, adat ya adat. Jadi jangan dicampur aduk.” (M. Khotob/cha)

Diambil dari Mail-Archive.com

No comments:
Write komentar