Mbiyen, Mbah Buyut almarhum pernah cerita, “Aku lahir kira-kira tahun Limolas Le. Soale pas tahun Slawe ana dum-duman kopyokan, aku wis kelingan, wis rada gedhe.” (Tahun Limolas = 1915, Tahun Slawe = 1925)
Ada yang menarik dari cerita Mbah Buyut itu: Dum-Duman Kopyokan. Setelah sekian lama penasaran dengan istilah itu, alhamdulillah pagi ini ada sedikit informasi tentang Dum-Duman Kopyokan itu.
Dum-Duman Kopyokan artinya pembagian tanah, seperti “Reformasi Agraria” kalau istilah zaman sekarang.
Konon, sebelum tahun 1925, tanah pertanian di daerah Pancot dimiliki orang-orang tertentu dengan status kepemilikan yang kurang jelas. Menang-menangan mungkin. Nah, pada tahun 1925 itulah terjadi pembagian tanah secara resmi. Semua tanah yang sudah dikelola warga diminta kembali atau digulung oleh pemerintah. Yang dimaksud dengan pemerintah itu entah Kasunanan Surakarta atau Pemerintah Hindia Belanda. Setelah digulung, tanah itu kemudian dibagikan kembali kepada warga dengan cara kopyokan. Diundi.
Tanah kopyokan itu lokasinya berada di sebelah utara dan di sebelah barat Pancot. Hanya ada 100 jatah kopyokan sehingga tidak semua warga Pancot memperoleh tanah jatah itu.
Selain Tanah Kopyokan, ada lagi istilah Tanah Pungutan. Tanah Kopyokan lokasinya di sebelah berat Gal Sere, terus ke barat sampai Gal Dhok, lalu ke selatan sampai Gal Geneng. Tanah Pungutan lokasinya di sebelah barat kampung. Tanah Kopyokan dibagikan kepada warga, sedangkan Tanah Pungutan diberikan kepada para pamong desa.
Nah, pada akhirnya Tanah Pungutan itu juga dikopyok (diundi), lalu diberikan kepada warga yang sebelumnya tidak mendapatkan jatah dari kopyokan pertama Tahun Slawe itu.
Ada hal lain yang juga cukup menarik. Ternyata mendapatkan undian kopyokan itu tidak otomatis membuat warga senang. Mendapatkan jatah tanah tidak serta merta membuat warga bahagia. Kenapa?
Karena pemilik kopyokan itu memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pertama, pada waktu tertentu mereka harus memberikan sebagian hasil buminya kepada pihak pemerintah di Solo (Kasunanan). Waktu itu belum ada transportasi dari Pancot ke Solo sehingga warga membawa hasil bumi itu dengan berjalan kaki. Jauh dan melelahkan. Kedua, Pemilik kopyokan juga harus membayar pajak. Jika hasil buminya tidak mencukupi, pajak-pajak itu terasa berat bagi penduduk. Bahkan sampai ada warga yang mengembalikan jatah kopyokannya kepada pemerintah (Bayan) karena hasil buminya tidak mencukupi. Tanah itu terutama yang lokasinya jauh dari kampung, dekat hutan, kurang subur, dan sebagainya. Tanah yang jika ditanami ketela dimakan celeng, ditanami jagung dimakan monyet. Begitulah…
#
Sepenggal cerita di atas bersumber dari kisah satu orang. Mungkin benar, mungkin kurang pener. Perlu kita lengkapi dengan data dan informasi yang lebih banyak dan lebih valid lagi. Ayo, siapa yang berkenan tanya ke Mbahnya atau Pakdhe/Pakliknya. Mari berbagi informasi. Gito-Gito sithik. Sing penting Gayeng :)
Depok, 15 Oktober 2016
No comments:
Write komentar