04 December 2010

Pek-Nggo dan Ngalor-Ngulon




Menjelajah sisi lain Pancot, Yuk! Bukan budayanya, bukan pertaniannya, bukan pula gito-gitonya, tapi fenomena lama yang sampai sekarang (ternyata) masih sering dijumpai: Pek-Nggo.

Ya, betul, fenomena Pek-Nggo alias Ngepek Tonggo... :)

Tanpa disadari, ternyata Pek-Nggo (berjodoh dengan tetangga sendiri) juga masih sering terjadi di Pancot. Meskipun hal ini juga terjadi di daerah-daerah lain, tapi Pek-Nggonya Pancot terasa unik karena terkait dengan nilai-nilai khas Pancot, terutama dalam petung mencari jodoh.


Banyak skenario untuk Pek-Nggo ini. Ada yang memang dari kecil sudah ngincer cowok/cewek sepermainannya atau teman sekelas di SD, setelah besar mereka menikah. Ada cowok yang sama sekali tidak kenal si cewek, karena usia terpaut begitu jauh, tapi setelah sama-sama terlibat di kegiatan karang taruna, mereka menjadi akrab, lalu menikah. Ada yang sama-sama merantau di satu kota, meskipun di rumah gak akrab, tapi didorong oleh perasaan senasib sesama perantau, jadi akrab dan saling menyayangi sampai menikah. Ada juga yang merantau, berlainan kota, pacaran dengan cowok/cewek dari luar kota, tapi ujung-ujungnya malah berjodoh dengan tetangga sendiri. Begitu bervariasinya skenario Pek-Nggo ini, yang kadang kalau diamati seringkali malah bikin mesem karena lucunya.

Tapi ada satu benang merah dari semua skenario tersebut. Agaknya kemantapan untuk berpek-nggo itu didorong oleh rasa nyaman untuk menjalin hubungan dengan orang yang sedikit banyak telah dikenal pribadinya maupun keluarganya. Dengan Pek-Nggo, mungkin mereka merasa tidak perlu mempelajari calon pasangannya dari nol. Banyak kesamaan nilai yang mereka pegang, baik dalam hal agama, budaya, pendidikan, dsb.

Namun ternyata, tidak gampang untuk Pek-Nggo tersebut.

Seperti masyarakat Jawa pada umumnya, sebagian besar warga Pancot masih njlimet dalam menentukan perjodohan. Banyak yang perlu diperhitungkan atau dipertimbangkan sebelum seseorang menikah, baik tentang hari lahir calon pasangan, neptu hari, bahkan sampai tempat tinggal/arah rumah.

Kalau berpegang teguh pada konsep lama, terlalu banyak pantangan jika warga Pancot akan menikah, diantaranya:

1. Tidak boleh menikahi seseorang yang tempat tinggalnya di sebelah barat laut dari rumahnya (ngalor ngulon).
2. Anak pertama tidak boleh menikahi anak ketiga (ada istilah Lusan)
3. Tidak boleh menikahi orang di seberang sungai
4. ……
(sementara yang saya tahu ini dulu. Saya yakin daftar ini masih bisa diperpanjang, kita tunggu saja tambahan dari teman-teman)

Ada kepercayaan bahwa jika melanggar satu atau lebih dari konsep-konsep tersebut, akan membawa malapetaka, baik bagi pelaku maupun keluarganya. Malapetaka tersebut mungkin berwujud penyakit, kesulitan yang tak kunjung henti, bahkan sampai kematian.

Lalu bagaimana dengan seseorang yang terlanjur mencintai orang yang masuk dalam kategori “pantangan” tersebut? Ada bermacam-macam jawabannya. Mereka yang terlalu keukeuh alias masih berpegang teguh pada pantangan itu akan memilih jalan aman dan tidak meneruskan hubungan. Ada juga yang nekat meskipun keluarganya ketir-ketir.

Akan tetapi, sebenarnya ada kearifan lokal khas Pancot yang bisa mengakomodasi hal itu. Sebagai misal, jika seorang cowok hendak menikahi gadis yang arah rumahnya ngalor ngulon, dan itu dianggap pantangan, maka ada cara untuk menyiasatinya. Si mempelai pria tidak usah berangkat dari rumahnya, tapi dari rumah paman atau bibinya yang arah rumahnya tidak ngalor ngulon dengan rumah si gadis. Konsekuensinya, yang dianggap besan nanti adalah paman atau bibinya, bukan orang tua kandungnya. Pada upacara sungkeman, mempelai juga bersimpuh di depan paman dan bibinya, bukan di depan orang tua kandungnya meskipun orang tuanya ikut dalam rombongan pengiring pengantin.

Begitulah, ternyata Pek-Nggo di Pancot dan segala tetek-bengeknya menarik juga untuk diamati. Ada mitos-mitos unik yang masih diyakini, meskipun pelan-pelan mitos seperti itu akan luntur seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, sekarang belum terlambat untuk merekamnya, sekadar meninggalkan jejak.

Biar bagaimanapun, masyarakat kita memang masih diwarnai dengan berbagai mitos seperti itu. Kita tidak perlu malu/risih untuk mengakui hal tersebut sebagai bagian dari kita, meskipun kita sudah belajar hal-hal lain dan mungkin “tak sepakat” lagi dengan konsep lama tersebut. Saling menghormati antara yang masih keukeuh dan yang “tak sepakat” adalah kunci paseduluran yang menjaga Pancot kita tetap nyaman sebagaimana semula, nyaman bagi yang tinggal di rumah, juga nyaman didengar oleh mereka yang sedang merantau ke luar daerah.


Sekian. Sugeng Sabtu enjang. Apakah rumah sampeyan ngalor ngulon dengan rumah si dia?ehm… :)





*Coretan pagi ini khusus buat sedulurku para Pek-Nggoers: Si bul dan suami, genduk dan suami, sekar cantik dan suami, Bogel dan istri, Kang Tazo dan istri, Cipoet dan suami, Genduk Is dan suami, dan banyak lagi lainnya yang entah sudah ada di fesbuk sy atau belum… Salam buat sampeyan :)

6 comments:
Write komentar
  1. sangat menggelitik mas postingnya...mantab
    pernah mengalami g jadi dengan sir2an di pancot...tp alhamdulillah bukan karena item no 3 hanya g berjodoh...
    meski aku bukan orang pancot moga bisa tetep seduluran dengan temen2 semua.
    maju terus

    ReplyDelete
  2. Hehehe, hayo siapa cah Pancot sing pernah disir?ehem...Kalo anak sekarang dah gak peduli dgn point2 di atas kok mas, yg penting katresnan :))

    Salam paseduluran ugi dr cah Pancot mas....

    ReplyDelete
  3. uhhhhh,,q skrng jd +bngung nh,,mw nikah q anak ketiga n ce anak /tama,,gmn nh

    ReplyDelete
  4. Lha iki .. ngalor-ngulon , ketir-ketir rasane 😣

    ReplyDelete