30 July 2017

Catatan Mbah Gino


Almarhum Mbah Gino (Sugino Prawirorejo) pernah membuat tulisan tangan sebanyak 12 lembar yang beliau beri judul Sarasilah Eyang Joyodikromo. Tampaknya beliau berusaha merunut nama-nama kerabat sejauh yang beliau mampu. Beberapa lembar awal berisi bagan silsilah dan nama-nama (siapa punya anak siapa punya cucu siapa), sedangkan beberapa lembar akhir berisi narasi menarik tentang hal-hal yang layak diketahui oleh anak-anak Pancot. Beberapa lembar akhir itulah yang sekarang dimunculkan di blog ini. Catatan asli ditulis dalam bahasa Jawa, saya berusaha mengalihkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Segenap apresiasi kagem Mbah Gino almarhum dan anak-cucu Beliau, terutama keluarga Pandu di Bogor yang berkenan membagi catatan Mbah ini. Semoga menjadi tambahan referensi tentang sejarah kampung kita tercinta. Selamat membaca.







*

 I. PEMERINTAHAN DI SURAKARTA

Karena adanya perselisihan di antara kerabat keraton Surakarta, terjadilah perang yang seakan-akan tiada akhir. Perang  itu terjadi antara RM Said (Kanjeng Gusti Samber Nyawa) yang dibantu oleh Pangeran Mangkubumi melawan Kanjeng Sinuwun paku Buwono II yang dibantu oleh Belanda.
Bertahun-tahun perang tak kunjung usai sehingga menghabiskan biaya yang tidak sedikit serta bebanten yang tak terhitung jumlahnya. Pada akhirnya peperangan itu hanya bisa diakhiri dengan adanya Perjanjian Salatiga, yaitu perundingan yang dilaksanakan di kota Salatiga.

Adapun isi perjanjian itu ialah:
-          - Pemerintahan di Surakarta dipecah menjadi dua: Kasunanan dan Mangkunegaran
-          - Yang bertahta di Kasunanan: Kanjeng Sinuwun Paku Buwana II ing Surakarta Hadiningrat
-          - Yang bertahta di Mangkunegaran: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I

II. PEMERINTAHAN DI MANGKUNEGARAN

Seluruh tanah di wilayah Tawangmangu termasuk dalam kekuasaan Mangkunegaran. Begitu juga tanah di Dukuh Pancot.

Para pegawai pemerintahan di Mangkunegaran disebut: Peprintahan Pangreh Praja Mangkunegaran.
Urut-urutan pangkat Pangreh Praja di Mangkunegaran: 
Badal-Bekel-Petinggi-Demang-Penewu-Tumenggung-Adipati.

III. PEMERINTAHAN DI TAWANGMANGU

Sebagaimana disampaikan di depan bahwa tanah di Tawangmangu termasuk dalam wilayah kekuasaan Mangkunegaran.

Adapun pemerintahan dipegang oleh pejabat yang disebut Penewu atau Penewu Gunung.

Pemerintahan  di Dukuh Pancot termasuk wilayah Kapanewon Tawangmangu.

IV. PEMERINTAHAN DI DUKUH PANCOT

Bumi Pancot termasuk wilayah  Kapanewon Tawangmangu.  Pemerintahan dukuh dipegang oleh pejabat yang disebut Petinggi dan dibantu oleh Bekel dan Badal (pembantu Bekel).

Jabatan Petinggi dipegang oleh Eyang Jayadikrama. Oleh sebab itu, anak cucu menyebut nama Eyang Jayadikrama dengan sebutan Mbah Tinggi.
Terdapat 10 Bekel di Dukuh Pancot yaitu:
1.       B. Kertojoyo
2.       B. Poreso
3.       B. Jolosono
4.       B. Kromosemito
5.       B. Proyodrono
6.       B. Joyokromo
7.       B. Noyodoso
8.       B. Karyosemito
9.       B. Wiryosemito
10.   B. Setrolesono
Saat itu, gaji Petinggi dan Bekel bukan berupa uang, melainkan berupa tanah yang disebut: Lemah Lungguh.
Tanah yang subur dijadikan Lungguh bagi Petinggi dan para Bekel.
Seberapa luas tanah lungguh itu, penulis tidak bisa mendapatkan keterangan.
Tanah di Dukuh Pancot:
a. Tanah Lungguh: Tanah yang diperuntukkan sebagai gaji Petinggi dan para Bekel
b. Tanah Desa:
-          Tanah yang digarap oleh para warga masyarakat
-          Tanah yang digunakan untuk jalannya pemerintahan
c. Tanah Digulung


**

PERUBAHAN TATANAN PADA TAHUN 1925
Pada tahun 1925 pemerintah Belanda mengadakan perubahan tatanan pemerintahan yang berlaku di wilayah Gubermen dan Kraton/Mangkunegaran serta Kasultanan/Pakulaman.
Beberapa perubahan tersebut yang perlu penulis sampaikan ialah tentang Tanah dan Pangkat Pangreh Praja.

TANAH
Perubahan aturan mengenai tanah pada tahun 1925 itu lazim dikebal dengan Tanah Digulung (Bumi Digulung). Artinya, peraturan lama tentang tanah diganti dengan peraturan baru.
Di antara peraturan baru tersebut ialah: Semua tanah Gubermen, Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan, dan Pakualaman diukur oleh pegawai negara yang disebut Klasir. Termasuk juga tanah di Dukuh Pancot.
Klasir tadi bertugas untuk mengukur luas tanah tegalan atau sawah di desa-desa serta mengukur luas tanah tiap 3000 m2  diberi patok.
Bagi warga desa yang  sudah punya tanah pekarangan, tiap Kepala Keluarga (KK) bakal mendapat jatah tanah tegalan atau sawah seluas ± 3000 m2 tadi.
Tegal Sekopyokan  atau Tegal Sepathok
Tanah seluas ± 3000 m2 tadi bisa dimiliki masyarakat tidak dengan cara dibeli, tetapi dengan cara dikocok di kelurahan. Tiap kepala keluarga mengambil kocokan satu-satu. Nomor-nomor di kertas kocokan tadi lalu dicocokkan dengan nomor yang ditulis di patok-patok tadi.
Oleh sebab itu, tanah tegalan baru tersebut lazim disebut Tegal Sakopyokan atau Tegal Sepathok.
Perlu penulis sampaikan bahwa dengan berlakunya aturan baru tersebut, di Tanah Gubermen para warga masyarakat mulai memiliki Hak Milik tanah. Namun  di wilayah Pemerintahan Kerajaan memiliki Hak Sewa.

PANGKAT/KEDUDUKAN
Istilah pangkat/kedudukan diganti.
Pejabat Mangkunegaran:
Adipati - Tumenggung - Bupati - Penewu - Kepala Desa/Rangga - Kamituwa - Kebayan - Jagatirta

Pejabat Kasunanan:
Sinuwun - Patih - Tumenggung - Bupati - Penewu - Kepala Desa/Rangga - Kamituwa - Kebayan - Jagatirta


***

I. TANAMAN KOPI DI TANAH JAWA
Ketika zaman penjajahan Belanda, hutan-hutan di Indonesia khususnya di Tanah Jawa ditanami tanaman yang laku dijual di pasar Eropa. Tanaman tadi berupa rempah-rempah dan sebagainya, seperti cengkeh, lada, teh, kopi.
Saat itu, pasaran kopi di Eropa sangat laris sehingga pemerintah Belanda di Indonesia menanam kopi di hutan-hutan di Indonesia. Demikian juga hutan-hutan di Jawa dipenuhi tanaman kopi.

II. TANAMAN KOPI DI SEKELILING GUNUNG LAWU
Tak ketinggalan hutan-hutan di sekeliling Gunung Lawu sebelah bawah dipenuhi tanaman kopi. Di Hutan Blanglor ke timur dan ke utara, Kendhit-Koncongan ke timur penuh tanaman kopi.

III. KERJA RODI/ KERJA PAKSA
Agar tanaman kopi bisa subur dan lestari hidupnya, perlu dirawat dengan baik.
Perawatan tanaman kopi tadi menjadi kewajiban warga masyarakat di desa-desa.
Warga masyarakat di desa-desa yang mendapat tugas pekerjaan tersebut dinamakan Kerja Rodi. Tidak hanya warga yang tinggal di sekitar hutan kopi saja yang terkena kewajiban rodi. Meskipun jauh dari hutan kopi juga terkena kerja rodi.
Kerja rodi tersebut antara lain: Ndangir kopi-Matun kopi-ngundhuh kopi-ngusung kopi.

IV. KEAMANAN TANAMAN KOPI
Agar tanaman kopi tersebut aman, tidak dicuri oleh warga, Belandan membentuk: Jineman Kopi—Mandor Kopi—Kepala Mandor—dsb.

EYANG SOWIJOYO PENGAWAS KEAMANAN TANDURAN KOPI
Menurut cerita, Eyang Sowijoyo termasuk pengawas keamanan tanaman kopi di hutan Blanglor ke timur dan utara, Kendhit koncongan ke timur. Eyang Sowijoyo termasuk pengawas tanaman kopi yang memiliki keberanian terhadap Belanda.

V. PABRIK KOPI
Kopi-kopi yang sudah tua lalu dipetik dan diangkut ke Watusambang karena lokasi pabrik kopi ada di Watusambang. Oleh sebab itulah Watusambang juga dikenal dengan nama mBabrik.

VI. EYANG SOWIJOYO DIBUANG/DILAUT
Karena adanya aturan-aturan baru dari Belanda yang memberatkan warga, Eyang Sowijoyo tdak setuju dengan aturan-aturan tersebut. Hal itu menimbulkan perselisihan antara Eyang Sowijoyo dengan orang-orang Belanda di perkebunan kopi Tawangmangu.
Karena perselisihan itu dan fitnah dari teman-temannya, Eyang Sowijoyo dijatuhi hukuman oleh Belanda: Dibuang ke luar tanah Jawa.

VII. BERZIARAH KE KUBURAN WAHIR
Eyang Sowijoyo Putri (istri Eyang Sowijoyo) dimakamkan di Kuburan Wahir. Oleh karena itu, anak cucu yang hendak berziarah ke makam Eyang Sowijoyo Putri harus berani menempuh medan berat dengan berjalan jauh naik turun ke Kuburan Wahir.

VIII. BERZIARAH KE TENGAH SUNGAI
Seperti yang sudah diterangkan di depan bahwa Eyang Sowijoyo dibuang (istilah lainnya dilaut) ke luar pulau Jawa oleh Belanda.
Ke pulau mana pembuangan Eyang Sowijoyo tidak diketahui oleh anak cucunya. Demikian pula di mana beliau meninggal dan dimakamkan, tidak ada yang mengetahuinya.
Oleh sebab itu, anak cucu yang ingin berziarah ke Eyang Sowijoyo cukup dengan cara membuang kembang di tengah sungai.

Ditulis di Pancot, April 1997
Tulisan diringkas di Bogor, 20 April 2002

Penulis
Sugino Prawirorejo




































03 March 2017

NGILI

Ngili artinya mengungsi, meninggalkan tempat tinggal untuk menghindari bencana alam, perang, wabah penyakit, dan sebagainya. Di televisi sering kita jumpai berita tentang pengungsi dari daerah konflik, seperti Rohingya, Suriah, dan Irak. Seperti itulah ngili.

Ngomong-ngomong tentang pengungsi, warga Pancot dulu juga pernah jadi pengungsi. Benarkah?
Ya. Kejadiannya pada zaman agresi militer kedua penjajah Belanda. Berarti sekitar tahun 1948 sampai 1950-an.

Ilustrasi pasukan Belanda pada saat Agresi Militer kedua 

Waktu itu, pasukan Belanda bermarkas di sekitar Balekambang, Sekar Jinggo, sampai Ombang-ombang. Karena takut dengan pasukan Belanda itulah sebagian besar warga Pancot mengungsi. Daerah yang dituju adalah Dusun Tambak, Tlogo dan Ngemplak, Tidak semua warga pancot mengungsi. Sebagian kecil ada yang masih bertahan di Pancot meskipun juga takut diserang atau diambil oleh pasukan Belanda.

Warga Pancot mengungsi sambil membawa perabotan, termasuk hewan peliharaan seperti kambing, kuda, dan lain-lain. Bahkan, warga yang punya gamelan dan sekotak wayang kulit juga ikut dibawa mengungsi.

Di tempat pengungsian, orang-orang Pancot nunut di rumah warga. Ada yang disuruh bikin rumah sementara di kebun-kebun. Ada yang menikah dengan orang sana. Bahkan ada yang memilih menentap di sana ketika masa pengungsian berakhir.

Lama pengungsian sekitar selapan dina (35 hari). Mereka kembali pulang ke Pancot karena mendapat informasi bahwa Dusun Tambak akan diserang oleh Pasukan Belanda. Karena informasi itulah, pada tengah malam para pengungsi berduyun-duyun kembali ke Pancot. Diterangi cahaya bulan, warga menuntun hewan peliharaan dan memanggul perabotan untuk pulang ke kampung halaman.


#


Tentang  sekelumit cerita pengungsian itu, saya membayangkan beberapa hal lain, seperti
- Gimana ceritanya seandainya pengungsi Pancot nggak balik lagi ke Pancot?
- Gimana seandainya Pancot yang kosong itu ditempati keluarga penjajah?
- Gimana seandainya kampung itu dibakar?
- Gimana seandainya Pancot dibangun jadi penjara tawanan perang?
- dan seterusnya.

Tentu cerita hari ini akan lain sama sekali.

Tapi alhamdulillah. Semua akhirnya baik-baik saja. Kita masih punya kampung sampai sekarang. Masih bisa kumpul sedulur.

Secara kasat mata, kita bernasib jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara kita korban Lapindo.

Orang-orang Sidoarjo itu mengungsi dan tak pulang lagi.  Tiap kali melihat bekas kampungnya, yang ada hanyalah danau lumpur. Di bawah lumpur itulah tersimpan bermacam-macam cerita. Tentang cinta, ibadah, tangisan bocah, anak sekolah, pasar, lapangan, kuburan, semuanya.
Sejarah yang hilang.

Ah, semoga kampung kita akan terus ada. Sampai nanti ditiupnya Sangkakala.





(Terima kasih kepada Mbah Harti, Mbah Parjo, dan Mbah Joko yang berkenan berbagi cerita tentang ngili ini, dalam obrolan santai beberapa hari lalu. Salam)