27 November 2010

Mantu

Dapat sms (nggak penting) dari Bulik tentang daftar orang-orang yang hajatan minggu-minggu ini di kampung ketjil kita. Nggak penting banget, tapi lumayan bikin ngakak. Maklum, si bul ini memang nggak bisa absen kalau sudah menyangkut orang hajatan, pasti berdiri di shaf paling depan (sholat kaliii.. :)

Ngemeng-ngemeng tentang hajatan, orang punya gawe alias mantu, memang waktunya sering bersamaan. Hal ini tidak lepas dari adat Jawa yang masih begitu tunduk pada hitung-hitungan hari, pemilihan hari baik, dan sebagainya. Sebagian besar orang Jawa, termasuk warga Pancot, masih terlalu njlimet untuk urusan ini.

Ada hari baik, ada hari naas (geblak/meninggalnya anggota keluarga), ada konsep hari Samparwangke, hari Taliwangke, dan lain-lain. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau pada saat tertentu, jumlah orang yang punya gawe banyak sekali. Berdasar perhitungan, mungkin hari-hari itulah yang dianggap baik untuk melangsungkan hajatan.
Kembali tentang hajatan di Pancot. Seiring berjalannya waktu, terjadi banyak sekali perubahan dalam acara hajatan itu sendiri.

Berdasarkan cerita para senior di rumah, orang-orang Pancot zaman dulu menikah pada usia yang masih sangat kecil (usia SD). Mereka dijodohkan oleh orang tuanya dengan mengadakan pesta yang sangat meriah di pihak suami maupun di pihak istri dengan menampilkan reog dan atraksi lainnya. Bahkan, si pengantin cilik ini diarak keliling kampung. Pesta pernikahanpun bisa berlangsung sampai tiga hari, bahkan mungkin lebih. Lucunya, setelah menikah, mereka tidak tinggal serumah. Namanya juga masih anak kecil, mereka masih tinggal di rumah orang tua masing-masing, bermain seperti biasanya, hingga menunggu cukup umur untuk dipersatukan sebagai suami/istri sebenarnya.
Namun tradisi nikah dini serta perjodohan seperti itu sudah berakhir berpuluh tahun silam. Tak ada lagi anak SD dikawinkan, apalagi diarak keliling kampung oleh warga Pancot :)


Membandingkan hajatan dasawarsa 80an-90an dan dasawarsa sekarang ternyata asyik juga. Seingat saya, dulu orang Pancot lebih banyak menyelenggarakan resepsi pada malam hari. Tontonannya pun tidak tanggung-tanggung, sangat menghibur dan bervariasi. Grup kesenian dan tokoh yang merajai panggung kebudayaan Jawa saat itu banyak yang diundang ke Pancot, baik kethoprak, wayang wong, ludruk, tari, dalang wayang kulit, dsb. Seingat saya, waktu masih kecil sering sekali menonton Ki Anom Suroto, Ki Mantep Sudharsono, Gito-Gati, Sandirono-Sandirene, Kethoprak Wahyu Budhaya, Cak Kirun, Ki Joko Edan, dll. Tontonan kebanyakan malam hari, sementara siang sebelumnya diisi dengan penerimaan tamu dari jauh yang dihibur dengan klenengan (gamelan klasik).

Pada masa kini, hajatan cenderung praktis. Tak ada lagi resepsi malam-malam, semua bisa diselesaikan dalam sehari. Tontonan pun sudah tidak beraneka jenis lagi, cukup hanya mengundang satu grup campur sari. Entah perubahan seperti ini memang tuntutan zaman untuk lebih efektif dan praktis atau memang secara finansial terlalu berat mendatangkan tokoh-tokoh kesenian kelas satu tadi?entahlah…

Met nyumbang bagi yang nyumbang, met ngeteng bagi yang suka ngeteng, met nyinom bagi yang wajib nyinom. Salam... :)



2 comments:
Write komentar
  1. semua seniman TOP yg berasal dr jawa semuanya pernah singgah n di tanggap orang pancot dhi....
    malah mbah ku ki orang pertama yg nangggap RUSMAN dkk...katanya Rusman ki koyok srimulat ngono.....top pada jamannya, kalo saiki yo ahmad dhani ngono hehehe ngaworrrrrr!!!!!!!!!!

    ReplyDelete
  2. Yup, sebagian besar jagoan2 itu sudah pernah ditanggap, mbiyen. Sekarang wis gak kuat lagi kang, cukup campur sarian 3 jam rampung :)

    Dulu lama sebelum hari H, anak2 kecil sudah tahu nanti tontonannya apa. Sekarang, sambil berangkat resepsi baru tanya, "tontonannya apa to?"..hehe

    ReplyDelete