29 November 2010

“Hujan Emas di Negeri Orang"

Sebuah pameo lama yang mungkin sudah kita kenal sedari SD. Ternyata kalimat itu saya dengar lagi dari seorang senior, beberapa tahun lalu, saat menghadiri upacara wisuda teman Pancot. Saat itu saya mengangguk, meski dalam hati bertanya, “Benarkah…?”

Banyak kisah pilu tentang nasib pekerja di negeri asing, memang. Banyak cerita sedih dari mereka yang nekat meninggalkan keluarganya di rumah, betul. Dan rangkaian cerita sedih itu semakin mendukung pameo di atas, sehingga pameo lain kembali didengungkan, “Mangan ora mangan sing penting kumpul.” Nah.

Agaknya mangan ora mangan ngumpul itu pula yang dulu mendoktrin warga Pancot. Entah karena dimanja alam pertaniannya yang sangat menjanjikan atau memang karena kurangnya informasi? Y
ang jelas, sampai dekade 80-an hingga 90-an masih sedikit warga Pancot yang merantau ke luar daerah, apalagi ke luar negeri.

Hal itu memang sangat dimaklumi. 


Saat itu, pertanian bawang putih dan bawang merah sedang di puncak kejayaannya. Produksi jeruk (katanya) juga sangat melimpah. Penghasilan petani Pancot waktu itu sangat cukup untuk membangun rumah, menumpuk perhiasan maupun membeli tanah, termasuk mengundang seniman-seniman terkenal ketika sedang melangsungkan hajatan, baik pernikahan maupun sunatan.

Tidak heran jika warga Pancot terbuai dengan kenyamanan itu sehingga kurang berminat untuk bekerja di bidang lain, seperti wiraswasta, pegawai negeri, jasa, apalagi merantau ke luar daerah atau luar negeri. Jadi ketika warga kampung lain sudah banyak yang merantau, kebanyakan orang Pancot masih asyik dengan dunianya sendiri.

“Sama-sama bekerja mendingan di rumah, lebih makmur,” mungkin begitu pikir mereka saat itu.

Gb. karya Adi Palesangi

Baru ketika harga bawang merosot, iklim tak bisa diprediksi, tanaman-tanaman bermasalah (kobis dan sawi mbendhol, bawang tak lagi menthes), mereka mulai berpikir untuk merantau ke luar daerah, ke kota besar bahkan ke luar negeri.

Di dalam negeri, anak-anak Pancot tersebar di Jabodetabek, Surabaya, Malang, Batam, Solo, Jogja, dan lain-lain. Di luar negeri, mereka tersebar di Korea, Jepang, Malaysia, dan Amerika, termasuk beberapa yang bergabung dengan perusahaan kapal pesiar asing.

Banyak cerita sukses, tetapi tidak sedikit cerita suram, seperti lazimnya para perantau :)

Satu hal yang pasti, bahwa dengan berani keluar kandang, anak-anak Pancot bisa melongok dunia luar. Bukan sekadar materi, tapi lebih ke arah pengembangan diri. Ada banyak ilmu yang bisa dipelajari di luar kampungnya. Ada banyak tantangan yang menggoda untuk ditaklukkan. 


Secara otomatis, yang merasa pinter atau alim di kampung akan ketemu dengan yang lebih pinter dan lebih alim. Yang merasa sugih atau jagoan di kampung akan ketemu dengan yang lebih sugih atau lebih jagoan. Yang merasa melarat, bodho, kuper di kampung akan ketemu yang lebih parah dari dirinya. Pembelajaran yang InsyaALLAH sangat bermanfaat bagi anak-anak Pancot.

Oleh karena itu, tak salah menanamkan jiwa merantau kepada anak-anak Pancot sekarang, asalkan diimbangi dengan bekal keterampilan dan kemauan yang sungguh-sungguh. Sudah saatnya menanggalkan pameo mangan ra mangan kumpul. Masalahnya bukan cuma makan gak makan, tapi lebih ke arah penggemblengan karakter. Semoga dengan merantau akan terbentuk mental mereka, pikiran mereka, daya juang mereka, persaudaraan mereka, dll.

Terakhir, dimanapun berada, semoga anak-anak Pancot bisa empan papan, tahu menempatkan diri, dan tidak lupa dengan jiwa jawine wong Jawa. Semoga.

2 comments:
Write komentar
  1. merantau sifat,pengalaman, mental jasmani/rohani lebih terasahh....bismillah n selamt.......

    ReplyDelete
  2. Sebenarnya gak merantau pun gpp bro, asal di rmh jg sinau. Sinau ngaji, seni, teknologi, dll. Sama2 bisa berkembang :))

    ReplyDelete