Catatan Mbah Gino
Almarhum Mbah Gino (Sugino Prawirorejo) pernah membuat tulisan tangan sebanyak 12
lembar yang beliau beri judul Sarasilah
Eyang Joyodikromo. Tampaknya beliau berusaha merunut nama-nama kerabat sejauh
yang beliau mampu. Beberapa lembar awal berisi bagan silsilah dan nama-nama (siapa punya anak
siapa punya cucu siapa), sedangkan beberapa lembar akhir berisi narasi menarik
tentang hal-hal yang layak diketahui oleh anak-anak Pancot. Beberapa lembar akhir itulah yang sekarang dimunculkan di blog ini. Catatan asli ditulis dalam bahasa Jawa, saya berusaha mengalihkannya ke
dalam bahasa Indonesia.
Segenap apresiasi kagem Mbah Gino almarhum dan anak-cucu Beliau, terutama keluarga Pandu di Bogor yang berkenan membagi catatan Mbah ini.
Semoga menjadi tambahan referensi tentang sejarah kampung
kita tercinta. Selamat membaca.
*
Karena adanya perselisihan di antara kerabat keraton
Surakarta, terjadilah perang yang seakan-akan tiada akhir. Perang itu terjadi antara RM Said (Kanjeng Gusti
Samber Nyawa) yang dibantu oleh Pangeran Mangkubumi melawan Kanjeng Sinuwun
paku Buwono II yang dibantu oleh Belanda.
Bertahun-tahun perang tak kunjung usai sehingga menghabiskan
biaya yang tidak sedikit serta bebanten yang
tak terhitung jumlahnya. Pada akhirnya peperangan itu hanya bisa diakhiri
dengan adanya Perjanjian Salatiga, yaitu perundingan yang dilaksanakan di kota
Salatiga.
Adapun isi perjanjian itu ialah:
- - Pemerintahan di Surakarta dipecah menjadi dua:
Kasunanan dan Mangkunegaran
- - Yang bertahta di Kasunanan: Kanjeng Sinuwun Paku
Buwana II ing Surakarta Hadiningrat
- - Yang bertahta di Mangkunegaran: Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara I
II. PEMERINTAHAN DI MANGKUNEGARAN
Seluruh tanah di wilayah Tawangmangu termasuk dalam
kekuasaan Mangkunegaran. Begitu juga tanah di Dukuh Pancot.
Para pegawai pemerintahan di Mangkunegaran disebut: Peprintahan Pangreh Praja Mangkunegaran.
Urut-urutan pangkat Pangreh Praja di Mangkunegaran:
Badal-Bekel-Petinggi-Demang-Penewu-Tumenggung-Adipati.
III. PEMERINTAHAN DI TAWANGMANGU
Sebagaimana disampaikan di depan bahwa tanah di Tawangmangu
termasuk dalam wilayah kekuasaan Mangkunegaran.
Adapun pemerintahan dipegang oleh pejabat yang disebut Penewu atau Penewu Gunung.
Pemerintahan di Dukuh Pancot termasuk wilayah Kapanewon Tawangmangu.
IV. PEMERINTAHAN DI DUKUH PANCOT
Bumi Pancot termasuk wilayah Kapanewon Tawangmangu. Pemerintahan dukuh dipegang oleh pejabat yang disebut Petinggi dan dibantu oleh Bekel dan Badal (pembantu Bekel).
Jabatan Petinggi dipegang oleh Eyang Jayadikrama. Oleh sebab
itu, anak cucu menyebut nama Eyang Jayadikrama dengan sebutan Mbah Tinggi.
Terdapat 10 Bekel di Dukuh Pancot yaitu:
1.
B. Kertojoyo
2.
B. Poreso
3.
B. Jolosono
4.
B. Kromosemito
5.
B. Proyodrono
6.
B. Joyokromo
7.
B. Noyodoso
8.
B. Karyosemito
9.
B. Wiryosemito
10.
B. Setrolesono
Saat itu, gaji Petinggi dan Bekel bukan berupa uang,
melainkan berupa tanah yang disebut: Lemah Lungguh.
Tanah yang subur dijadikan Lungguh bagi Petinggi dan para
Bekel.
Seberapa luas tanah lungguh itu, penulis tidak bisa
mendapatkan keterangan.
Tanah di Dukuh Pancot:
a. Tanah
Lungguh: Tanah yang diperuntukkan sebagai gaji Petinggi dan para Bekel
b. Tanah Desa:
-
Tanah yang digarap oleh para warga masyarakat
-
Tanah yang digunakan untuk jalannya pemerintahan
c. Tanah Digulung
**
PERUBAHAN TATANAN
PADA TAHUN 1925
Pada tahun 1925 pemerintah Belanda mengadakan perubahan
tatanan pemerintahan yang berlaku di wilayah Gubermen dan Kraton/Mangkunegaran
serta Kasultanan/Pakulaman.
Beberapa perubahan tersebut yang perlu penulis sampaikan
ialah tentang Tanah dan Pangkat Pangreh Praja.
TANAH
Perubahan aturan mengenai tanah pada tahun 1925 itu lazim
dikebal dengan Tanah Digulung (Bumi
Digulung). Artinya, peraturan lama tentang tanah diganti dengan peraturan baru.
Di antara peraturan baru tersebut ialah: Semua tanah Gubermen, Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan,
dan Pakualaman diukur oleh pegawai negara yang disebut Klasir. Termasuk juga
tanah di Dukuh Pancot.
Klasir tadi bertugas untuk mengukur luas tanah tegalan atau
sawah di desa-desa serta mengukur luas tanah tiap 3000 m2 diberi patok.
Bagi warga desa yang
sudah punya tanah pekarangan, tiap Kepala Keluarga (KK) bakal mendapat jatah
tanah tegalan atau sawah seluas ± 3000 m2 tadi.
Tegal Sekopyokan atau Tegal
Sepathok
Tanah seluas ± 3000 m2 tadi bisa dimiliki
masyarakat tidak dengan cara dibeli, tetapi dengan cara dikocok di kelurahan.
Tiap kepala keluarga mengambil kocokan satu-satu. Nomor-nomor di kertas kocokan
tadi lalu dicocokkan dengan nomor yang ditulis di patok-patok tadi.
Oleh sebab itu, tanah tegalan baru tersebut lazim disebut Tegal Sakopyokan atau Tegal Sepathok.
Perlu penulis sampaikan bahwa dengan berlakunya aturan baru
tersebut, di Tanah Gubermen para warga masyarakat mulai memiliki Hak Milik
tanah. Namun di wilayah Pemerintahan
Kerajaan memiliki Hak Sewa.
PANGKAT/KEDUDUKAN
Istilah pangkat/kedudukan diganti.
Pejabat Mangkunegaran:
Adipati - Tumenggung - Bupati - Penewu - Kepala Desa/Rangga - Kamituwa - Kebayan - Jagatirta
Pejabat Kasunanan:
Sinuwun - Patih - Tumenggung - Bupati - Penewu - Kepala Desa/Rangga - Kamituwa - Kebayan - Jagatirta
***
I. TANAMAN KOPI DI TANAH JAWA
Ketika zaman penjajahan Belanda, hutan-hutan di Indonesia
khususnya di Tanah Jawa ditanami tanaman yang laku dijual di pasar Eropa. Tanaman
tadi berupa rempah-rempah dan sebagainya, seperti cengkeh, lada, teh, kopi.
Saat itu, pasaran kopi di Eropa sangat laris sehingga
pemerintah Belanda di Indonesia menanam kopi di hutan-hutan di Indonesia.
Demikian juga hutan-hutan di Jawa dipenuhi tanaman kopi.
II. TANAMAN KOPI DI SEKELILING GUNUNG LAWU
Tak ketinggalan hutan-hutan di sekeliling Gunung Lawu sebelah
bawah dipenuhi tanaman kopi. Di Hutan Blanglor ke timur dan ke utara, Kendhit-Koncongan ke timur penuh tanaman kopi.
III. KERJA RODI/ KERJA PAKSA
Agar tanaman kopi bisa subur dan lestari hidupnya, perlu
dirawat dengan baik.
Perawatan tanaman kopi tadi menjadi kewajiban warga
masyarakat di desa-desa.
Warga masyarakat di desa-desa yang mendapat tugas pekerjaan
tersebut dinamakan Kerja Rodi. Tidak hanya warga yang tinggal di sekitar hutan kopi
saja yang terkena kewajiban rodi. Meskipun jauh dari hutan kopi juga terkena
kerja rodi.
Kerja rodi tersebut antara lain: Ndangir kopi-Matun
kopi-ngundhuh kopi-ngusung kopi.
IV. KEAMANAN TANAMAN KOPI
Agar tanaman kopi tersebut aman, tidak dicuri oleh warga,
Belandan membentuk: Jineman Kopi—Mandor Kopi—Kepala Mandor—dsb.
EYANG SOWIJOYO PENGAWAS KEAMANAN TANDURAN KOPI
Menurut cerita, Eyang Sowijoyo termasuk pengawas keamanan
tanaman kopi di hutan Blanglor ke timur dan utara, Kendhit koncongan ke timur.
Eyang Sowijoyo termasuk pengawas tanaman kopi yang memiliki keberanian terhadap
Belanda.
V. PABRIK KOPI
Kopi-kopi yang sudah tua lalu dipetik dan diangkut ke
Watusambang karena lokasi pabrik kopi ada di Watusambang. Oleh sebab itulah
Watusambang juga dikenal dengan nama mBabrik.
VI. EYANG SOWIJOYO DIBUANG/DILAUT
Karena adanya aturan-aturan baru dari Belanda yang memberatkan
warga, Eyang Sowijoyo tdak setuju dengan aturan-aturan tersebut. Hal itu
menimbulkan perselisihan antara Eyang Sowijoyo dengan orang-orang Belanda di
perkebunan kopi Tawangmangu.
Karena perselisihan itu dan fitnah dari teman-temannya,
Eyang Sowijoyo dijatuhi hukuman oleh Belanda: Dibuang ke luar tanah Jawa.
VII. BERZIARAH KE KUBURAN WAHIR
Eyang Sowijoyo Putri (istri Eyang Sowijoyo) dimakamkan di
Kuburan Wahir. Oleh karena itu, anak cucu yang hendak berziarah ke makam Eyang
Sowijoyo Putri harus berani menempuh medan berat dengan berjalan jauh naik
turun ke Kuburan Wahir.
VIII. BERZIARAH KE TENGAH SUNGAI
Seperti yang sudah diterangkan di depan bahwa Eyang Sowijoyo
dibuang (istilah lainnya dilaut) ke
luar pulau Jawa oleh Belanda.
Ke pulau mana pembuangan Eyang Sowijoyo tidak diketahui oleh
anak cucunya. Demikian pula di mana beliau meninggal dan dimakamkan, tidak ada
yang mengetahuinya.
Oleh sebab itu, anak cucu yang ingin berziarah ke Eyang
Sowijoyo cukup dengan cara membuang kembang di tengah sungai.
Ditulis di Pancot, April 1997
Tulisan diringkas di Bogor, 20 April 2002
Penulis
Sugino Prawirorejo