31 May 2011

Satu Desa Satu Produk

Sepertinya hal ini pernah selintas kita bahas di milis yahoo, entah di bulan apa tahun berapa. Idenya jelas: memilih produk unggulan yang bisa menjadi ikon/simbol dari kampung kita. Tapi apa?

***

Satu Desa Satu Produk atau One Village One Product (OVOP) menjadi tren saat ini. Program ini digalakkan oleh pemerintah dengan merangkul berbagai industri kecil di masyarakat. Tak ada salahnya kita ikut memikirkan produk apa yang bisa dihasilkan dari kampung kita.

Orang-orang Pancot sudah saatnya keluar dari jerat nostalgia produk pertanian yang pernah jaya di zamannya, yaitu Bawang. Kalau dulu masyarakat enggan merantau karena dimanja hasil bumi yang begitu menjanjikan, tetapi hal itu tidak berlaku lagi sekarang. Hasil produksi bawang, termasuk tanaman pertanian lain, tidak lagi maksimal. Penyebabnya banyak sekali: iklim yang tidak lagi bisa ditebak, tanah pertanian yang sudah rusak, bibit lokal yang kalah bersaing dengan bibit impor, harga pupuk dan pestisida yang melambung tak terjangkau, dan sebagainya. Kalau kita tetap bertahan dengan metode pertanian klasik, hasilnya bisa ditebak: orang-orang kita makin kewalahan. Hasil pertanian tidak lagi cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari, bahkan seringkali tidak mampu menutup biaya operasional pertanian itu sendiri. Petani yang memiliki sedikit lahan harus mencari tambahan penghasilan di luar pertanian. Petani yang memiliki banyak lahan sering mengeluhkan mahalnya biaya operasional. Oleh karena itu, perlu dipikirkan alternatif penghasilan di luar bidang pertanian.



Program OVOP membidik produk unggulan dari tiap desa, terutama kerajinan. Kalau kualitasnya memadai, produk tersebut bisa menembus skala nasional, bahkan bisa menjadi komoditas ekspor. Masyarakat Pancot seyogianya mulai mengidentifikasi sumber daya di daerah kita, terutama produk nonpertanian, yang bisa ditekuni menjadi produk unggulan. Ada beberapa alternatif yang bisa dilirik:

1.Budidaya Kembang

Iklim dingin di wilayah Tawangmangu sangat bagus untuk tanaman hortikultura, baik buah-buahan, sayuran, maupun tanaman hias. Di masa lalu, jeruk Tawangmangu pernah menjadi komoditas andalan, tapi sekarang hanya tinggal kenangan. Begitu pula sayuran: bawang putih, bawang merah, kobis, wortel, sawi, dan sebagainya. Aneka sayuran tersebut pernah mengalami puncak produksinya. Hasil begitu memuaskan dan harga begitu menjanjikan. Namun yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Panen bawang tidak lagi sebagus dulu, sementara penduduk seakan trauma menanam kobis maupun sawi karena hama itu: mbendhol. Oleh sebab itu, alternatif yang masih bisa diandalkan hanya tanaman hias.

Salah satu teman kita pernah memulai usaha budidaya kembang Krisan, tetapi entah kenapa tidak berlanjut lagi sampai sekarang. Padahal, menurut saya, pasar kembang Krisan masih sangat bagus, bahkan sampai ke luar negeri. Salah satu contohnya yaitu budidaya kembang Krisan yang dilakukan oleh OISCA, LSM kerjasama Indonesia—Jepang. Salah satu training center OISCA yang di Sukabumi, Jawa Barat memiliki lahan khusus untuk budidaya Krisan. Beberapa bulan sekali, puluhan ribu kembang Krisan dikirim ke Jepang. Di sana, kembang ini sangat laku di pasaran, sehingga perlu mendatangkan stok dari luar negeri, termasuk Indonesia. Kalau teman-teman di Pancot ingin belajar budidaya kembang Krisan, bisa ngangsu kawruh di training center ini. Yang penting adalah kemauan.

Selain kembang Krisan, masih banyak tanaman hias jenis lain yang bisa menjadi alternatif, seperti aglonema, anthorium, anggrek, dan sejenisnya. Kita memang perlu jeli membaca pasar agar bisa memilih tanaman hias apa yang sedang menjadi tren di masa tertentu. Tapi, sekali lagi, yang penting adalah kemauan.

2.Akar Hias

Orang kita menyebutnya Dhangkel, akar pohon yang diukir menjadi hiasan, baik meja, kursi, maupun hiasan lain. Ada segelintir warga Pancot yang pernah mencoba usaha ini, tapi belum ada yang berani terjun total di dalamnya karena begitu banyak hambatan: keterbatasan jumlah bahan, sulitnya mencari bahan, keterbatasan SDM (juru ukir), dan sulitnya pemasaran.




Produk ini sebenarnya layak menjadi produk andalan seperti yang digencarkan dalam program OVOP itu. Banyak akar pohon yang berhasil disulap menjadi hiasan bernilai seni tinggi. Di pameran-pameran, produk seperti ini berharga sangat mahal dan mempunyai segmen pasar tersendiri.

Di tempat kita, bahan yang biasa digunakan ialah akar kayu Cendana Lawu dan kayu Telasih. Kedua akar tersebut tergolong awet meskipun tidak begitu keras. Di masa mendatang, mungkin perlu dilirik akar pohon lain, seperti kayu Besi dan sebagainya. Kalau di sekitar kita tidak ada, bisa juga menyisir daerah lain yang menyediakan kayu tersebut, membelinya, dan mengukirnya menjadi hiasan yang bernilai seni dan layak jual.

3.Souvenir

Daerah kita adalah daerah wisata. Oleh sebab itu, banyak produk yang bisa kita jadikan cindera mata, seperti: gantungan kunci, mainan anak-anak, miniatur pesawat/kapal, keranjang hias, kipas, lampu gantung hias, dan sebagainya. Kita bisa memanfaatkan barang-barang yang murah meriah di sekitar kita untuk menjadikannya pernik-pernik hiasan. Ada bambu, tempurung kelapa, ranting kayu, maupun barang lain yang bisa dimanfaatkan. Kalau pun bahan-bahan tersebut tidak ada di daerah kita, masih bisa kita cari di daerah lain. Kuncinya adalah kreativitas dan kemauan belajar/bekerja.

4. Budidaya Jamur

Di tempat yang sekarang dirombak menjadi mushola At-Taubah, teman kita pernah menjalankan usaha budidaya jamur. Apakah kendala-kendala yang dihadapi? Bagaimana teknik budidaya yang benar? Kenapa usaha itu sekarang berhenti?

Agaknya pertanyaan-pertanyaan itu masih perlu kita jawab. Yang jelas, meskipun budidaya jamur sudah ada di mana-mana, konsumen jamur juga semakin banyak. Jadi, jangan takut kekurangan pasar.


**


Mungkin masih banyak yang bisa didaftar selain empat hal di atas. Kalau teman-teman ada ide, silakan memberi komentar atau masukan, bisa di sini, di milis, atau di grup facebook. Mudah-mudahan menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan oleh warga Pancot karena, sekali lagi, sudah saatnya orang-orang kita keluar dari jerat nostalgia bawang putih.


Sugeng sonten buat panjenengan semua. Salam.

1 comment:
Write komentar
  1. memulai membumi pancot lagi....
    dgn berbagai carut marut dan kebutuhan hidup di dunia terutama di daerah kita emang produk pertanian g bsa lg di harapkan,,,tapi dengan letak yg strategis n iklim yg mumpuni di daerah kita memang cocok dgn PERTANIAN/per"kembang"an hehehe ato pun perternakan,,semuanya sudah siap tersedia di daerah kita terutama pancot
    cama kita/warga saja yg kurang memaksimalkan dgn produk andalan kita .
    sebagai contoh:
    Pertanian. skrnag emang sulit sekali dgn produk bawang, brambang, sayur2 yg laen, tapi kan kita beloum mencoba sayur2an yg lain jg sprti stroberi, kentang, dll. warga kita cenderung menutup diri dg produk2 andalan padahal hasil g memusakan tadi
    perternakan, warga kita sibuk dengan sapinya n wedusnya, padahal dlu pernah ada yg ternak kelinci, ayam kampong dsbgnaya, nah kenapa g memulai dgn itu.

    sebagai kritikan buat warga(maap),
    warga kita ato kita sendiri cenderung suka instant, g mau berinovasi, ga mau mencoba sesuatu yg baru, kalopun ada, omongan orang membuat patah semangat orang yg mencoba berinovasi (ngenyek, ngarsani)

    dr segi pertanian aja g mau mencoba sayur2an yg laen pa lg membuat SOUVENIR

    jualan dr produk pertanian, kembang atopun ternak sangat sulit sekali di daerah kita,
    semuanya itu g terlepas dr permasalahan yg logis yaitu PEMASARAN, semua hasil yg baik, banyak dan bagus tapi kalo pemasaran "ANGEL" yo boong jg namae

    nah di iklan TV pernah ada koperasi desa sayur2an (lupa iku opo jenenge)....nah dgn iku gmna????monggo masukane lgi...lanjuttttttttttt
    monggo poro sedulur dirembug.....

    ReplyDelete