09 December 2010
"Turu Latar" di Bulan Sura
Bulan Sura. Banyak yang bisa diceritakan dari bulan ini.
Sura atau Muharam ialah sebutan untuk bulan pertama dalam kalender hijriah. Dalam tradisi Arab, bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan haram, yaitu bulan yang diharamkan untuk berperang (Muharram, Rajab, Zulqaidah, dan Zulhijjah). Orang Arab harus menjaga perdamaian di bulan-bulan tersebut karena bulan-bulan itu memang sangat dimuliakan. Di sini, kita hanya membahas sedikit tentang bulan Muharam atau dalam istilah Jawa: Sura.
Alkisah, Muharam adalah bulan kelahiran Nabi Musa; bulan ketika Nabi Musa lolos dari kejaran Firaun dan menyeberangi Laut Merah; bulan ketika Nabi Adam dan Hawa dipertemukan kembali setelah bertaubat dan terpisah sekian lama; bulan bebasnya Nabi Yusuf dari penjara; bulan kelahiran Nabi Ibrahim; bulan selamatnya Nabi Ibrahim dari api raja Namrud; bulan keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan; bulan sembuhnya penyakit Nabi Ayyub; dan lain-lain.
Bagi sebagian orang Jawa, termasuk warga Pancot, bulan ini juga dianggap sakral. Ada pantangan untuk menyelenggarakan hajatan (mantu) pada bulan ini karena, konon, bulan ini adalah saat Nyai Ratu Kidul dan para lelembut mantu, sehingga masyarakat tidak diperkenankan untuk ngembari mantu. Entahlah…
Warga Pancot banyak yang laku prihatin di bulan ini. Ada yang pergi ke Gunung Lawu, Pringgodani, atau tempat-tempat keramat lain untuk menyepi. Ada juga yang laku prihatin dengan berjalan kaki mengelilingi Gunung Lawu. Benar-benar mengelilingi gunung. Woww…
Ada lagi, seingat saya, ketika masih kecil kami seringkali turu latar (tidur di depan rumah) kalau bulan Sura datang. Ada yang sekadar menggelar tikar sembari membuat api unggun. Ada juga yang secara khusus membuat tenda agar lebih nyaman. Namun sampai sekarang, jujur saya belum mengetahui makna dari turu latar ini. Apakah sekadar prihatin dengan mengurangi kenyamanan tidur di kamar? Ataukah ada misi khusus, semacam mencari ilham? Ataukah seharusnya prihatin dengan lek-lekan alias tidak boleh tidur? lagi-lagi entahlah...
Oya, beberapa tahun lalu marak rombongan warga Pancot mengelilingi gunung dengan naik motor. Ada beberapa rombongan dengan satu rombongan bisa mencapai 30-an motor. Kompak banget. Makna laku prihatin bergeser menjadi jalan-jalan alias touring (istilah mereka para penggemar klub motor :). Bagus juga sih. Ada nuansa mempertahankan tradisi dengan memanfaatkan teknologi, hehe… Nggak tahu sekarang, apakah masih begitu atau sudah pada males?
Met Suronan sedulur, sudah bikin tenda di luar rumah belum?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Write komentar