05 September 2008

Lukisan

"Ini barang terakhir yang bisa kujual padamu, Nak. Belilah!"Ungkap Bapak tua itu sambil menyodorkan sebuah lukisan yang masih dibungkus kertas. Ini untuk kesekian kalinya orang itu datang ke galeriku, menawarkan barang remeh temeh untuk dijual padaku. Sedemikian remeh temeh barangnya sehingga akupun sering cuma bisa menghargai ala kadarnya.

Pernah dibawanya segulung kain putih dan ditawarkannya padaku. Aku yang bingung buat apa kain itu hanya melongo saja tanpa ada niatan membelinya. Namun apa daya, rasa memelas yang muncul setelah melihat penampilannya mendorongku untuk membeli saja kain itu. Namun, hanya seharga tiga bungkus rokoklah aku bisa menghargai barangnya. Di luar dugaan, ternyata Bapak tua itu bukan main senangnya.

Adakalanya dia bawa hiasan rumah, mulai dari kapal-kapalan, patung kecil, sampai vas bunga hanya untuk dituker dengan sedikit uang. Pernah pula ia tawarkan sepatu hitam dengan tulisan ABRI di bawahnya, tapi waktu itu aku tolak karena benar-benar nggak ada selera membeli sepatu. Beberapa bulan sejak itu, Ia tak kelihatan. Hingga siang ini, Bapak tua itu datang lagi dengan membawa sebuah lukisan.

Aku persilakan dia masuk ke galeriku untuk menghindari sengatan matahari. Ketika perlahan ia membuka lukisan itu, sekilas kutangkap gurat kesedihan di wajahnya. Ada sepercik keengganan untuk melepas lukisan yang mungkin telah dimillikinya beberapa lama itu, menandakan ada rasa sayang atas barang yang ia tawarkan padaku kali ini. 


Namun dasar pedagang, pertama kali insting bisnisku mengatakan, ekspresi sedih itu hanya bagian dari bargaining power si Bapak demi menaikkan harga barangnya. Makanya aku juga siap-siap menjadi si pembeli yang raja tega, yang gak bakal terbuai oleh segala macam tingkah penjual dalam proses tawar menawar.

Berkali-kali dielusnya lukisan itu. Lukisan gadis muda. Ya, lukisan setengah badan seorang gadis muda dengan rambut lurus sebahu. Dan, alamak, bener-bener manis gadis dalam lukisan itu, manis dan anggun dengan senyum tipis yang disempurnakan oleh kemunculan sepasang lesung di pipi kanan kirinya. Ah, benar-benar gadis manis. Adakah dia nyata atau hanya imajinasi si pelukis?

Sontak otak dagangku menimbang-nimbang. Lukisan bagus kayak gini pasti cepat laku.
Pasti banyak orang suka. Tinggal aku permak dikit pasti untung. Ya, aku tahu betul selera pelangganku. Makanya tanpa negosiasi harga yang rumit, akhirnya jatuh juga lukisan itu di tanganku. Mantap aku membelinya semantap keyakinanku tuk secepat mungkin menjualnya.

Tinggal aku beri bingkai yang senada dengan warna lukisannya. Bukan warna yang kontras atau warna-warna menyolok yang menggambarkan keceriaan, melainkan warna tua,bisa coklat atau hitam tua yang mengesankan keanggunan. Dan terbayang sudah paras gadis manis yang anggun itu. Sungguh, hasil karya sempurna yang layak diperebutkan orang. Dan keyakinanku semakin mantap, secepatnya akan kujual, pasti untung.

Sengaja aku pajang lukisan gadis itu di kamarku sambil mengerjakan bingkai indahnya, karena aku tak ingin pelangganku tahu duluan. Baru setelah bingkainya jadi, akan kupajang dia di ruang utama galeriku.

Sekali kulirik gadis itu, ternyata masih seanggun kemarin, masih tersenyum dengan sedikit lesung di pipinya. Ah, gadis manis yang sebentar lagi berpindah ke tangan pelangganku. Sungguh beruntung orang yang nanti membelinya, pikirku.

Kalau aku perhatikan agak detail, lukisan ini memang beda dari lusinan lukisan gadis yang selama ini singgah di galeriku. Goresannya jauh lebih halus dengan lekuk dan garis sempurna, menunjukkan penguasaan materi realis si pelukis. Apalagi kalau dibandingkan dengan lukisan andalanku, jauuuh sekali. Aku yang berusaha mati-matian untuk melukis aneka wajah, terpaksa harus menelan pil pahit. Walhasil, sampai sekarang hanya satu wajah yang bisa kulukis, wajah gadis semampai yang membayangi mimpiku sejak sepuluh tahun terakhir ini. Wajah manis dengan tahi lalat kecil di ujung kiri bibir atasnya. Rasanya kuas dan jariku berkompromi untuk menolak melukis wajah selain sosok ayu itu.

Aku pilih kayu terbaik, motif terbaik, cat terbaik yang sengaja kubedakan dari yang selama ini dipakai. Aku ingin memberikan sentuhan spesial pada lukisan ini, sekali saja. Biar nanti setelah dibeli orang, masih tertinggal jejakku menemani si gadis.

Dan selepas Ashar sore itu, setelah tiga hari kukerjakan, akhirnya terpajang juga lukisan seorang gadis manis dengan lesung pipi indah di ruang utama galeriku.

Aku ingat masih sempat beberapa kali melirik lukisan itu sambil menyelesaikan pekerjaan lain, sambil mereka-reka harga yang pantas untuk karya sesempurna itu.

Dan malam ini, Ketika aku kembali dari sembahyang Isya di masjid depan galeriku, datang si bapak tua dengan tergopoh-gopoh. "Anak muda, di mana lukisan putriku?masih kau simpan,bukan?",katanya dengan mimik serius. Ah, baru aku tahu ternyata si gadis manis adalah putri bapak ini.
"Memang kenapa,Pak?" tanyaku.
"Jangan kau jual lukisan itu, Nak! Putriku marah, dia betul-betul marah sama Bapak," pintanya mengiba.
Sampai detik ini, justru aku yang merasa aneh dengan Bapak ini, kok tega-teganya menjual gambar anaknya sendiri.
"Emang sekarang di mana putri Bapak?"tanyaku.

Setelah menghela nafas, lelaki itu menjelaskan," Savitri, putriku yang pintar melukis, sudah dua tahun lalu meninggal ditabrak mobil sewaktu hendak sholat Tarawih di masjid depan itu. Lukisan itu bikinannya sendiri yang ia buat persis sehari sebelum hari kematiannya. Sudah tiga hari ini dia mendatangiku lewat mimpi sambil marah-marah. Makanya, aku minta tolong kamu jangan jual dulu lukisan itu, nanti kalau Bapak punya uang, akan kubeli lagi berapapun harganya".

"Innalillahi!"desisku.

Mendadak kakiku gemetar, jantungku seakan berhenti berdenyut, mulutku kelu. Pikiran kembali teringat peristiwa aneh sore tadi. Sehabis Maghrib, seorang gadis manis dengan rambut lurus sebahu datang ke galeriku. Tanpa sepatah katapun dia menunjuk ke lukisan yang baru aku pajang, dikeluarkannya uang sejumlah harga yang baru ingin kutawarkan, yang belum sempat aku sebut jumlahnya. Diambilnya lukisan itu dengan buru-buru, bahkan dia menggeleng ketika aku menawarkan untuk dibungkus dulu biar lebih rapi. Cepat sekali kejadian itu, secepat langkah kaki si gadis meninggalkan galeriku menuju masjid di depanku.

Dan nama gadis itu, Savitri, kenapa pula namanya sama dengan satu-satunya wajah ayu yang berhasil kulukis sepuluh tahun terakhir ini? wajah manis bertahi lalat kecil di ujung kiri bibir atasnya. Kenapa harus sama?


(SS)

No comments:
Write komentar